IPNews. Jakarta. Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia Dr Suparji Achmad mengatakan, penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung harus tetap berjalan di masa pandemi Covid -19. Hanya saja, penegakan hukum tidak boleh dilakukan secara sembarangan saat kondisi perekonomian tengah merosot seperti saat ini.
“Aspek ekonomi harus dikedepankan. Selain upaya menegakkan keadilan, penegakan hukum di sektor ekonomi harus mempertimbangkan aspek kemanfaatan sehingga tidak timbul kegaduhan,” ujar Suparji dalam webinar “Urgensi Penegakan Hukum kasus Perbankan Vs Menjaga Stabilitas Perekonomian Nasional”, Jumat (6/11/2020).
Dalam penegakan hukum di sektor perbankan, ujar Suparji mencontohkan, harus dilakukan secara lebih hati-hati dan cermat.
Pasalnya, perbankan merupakan bisnis kepercayaan.“Jangan sampai penegakan hukum justru mengganggu perekonomian. Ada pegawai bank saja yang ditangkap, itu sudah pasti rusak citra bank itu,” terangnya.
Dia mencontohkan kasus gratifikasi yang baru-baru ini terjadi pada salah satu bank BUMN. Salah satu mantan dirut bank plat merah itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Pidsus Kejagung.
Suparji menilai langkah Kejagung yang memproses mantan dirut saat yang bersangkutan sudah pensiun dari perbankan sudah tepat. “Kita tidak tahu apakah memang tindakan (menetapkan tersangka) itu karena pertimbangan apa, tapi ini menunjukkan bahwa Kejaksaan melakukan penegakan hukum dengan mempertimbangkan agar tidak ada kegaduhan yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan merosot,” ujarnya panjang lebar.
Dalam diskusi yang digelar Forum Wartawan Kejaksaan Agung (Forwaka) itu, dia berharap penegak hukum mampu mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, alih-alih mengedepankan aspek pemidanaan.
“Seharusnya upaya-upaya penyelesaian di luar pengadilan harus dikedepankan,” imbuh Suparji.
Sementara Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak) RI Dr Ibnu Mazjah menambahkan, penegakan hukum dan ekonomi harus mampu berjalan selaras di masa pandemi Covid -19.
Berdasarkan laporan yang diterima Komjak dari Lapdumas Kejaksaan, kata Ibnu, memang dugaan pelanggaran dalam penanganan kasus perbankan yang diterima Komjak tidak terlalu signifikan.
“Mudah-mudahan ini bisa menjadi indikator bahwa tugas-tugas pelaksanaan penegakan hukum di sektor perbankan sudah benar (memperhatikan) aspek ekonomi,” terang Ibnu.
Kendati begitu, Ibnu mengingatkan agar Kejaksaan bisa mengedepankan aspek pencegahan dalam penegakan hukum di sektor perbankan.
Langkah ini, lanjutnya, bisa meningkatkan kepercayaan di sektor perbankan yang notabene menjadi salah satu pendukung perekonomian Indonesia.
“Pemidanaan itu adalah upaya terakhir. Yang harus ditekankan dalam pemberantasan korupsi adalah penyelamatan aset,” kata Ibnu, mengingatkan.
Lebih jauh, Ibnu tidak mempermasalahkan jika Kejaksaan melakukan upaya pemidanaan dalam penegakan hukum di sektor perbankan.
Prasyaratnya harus ada alias terbukti unsur mens rea (niat jahat) terlebih dahulu, bukan hanya berdasarkan pada perbuatan formil.
“Tapi kalau memang tidak ada mens rea, sebaiknya seluruh persoalan-persoalan hukum itu diselesaikan secara win-win solution,” jelas Ibnu
Jika ada perusahaan jasa keuangan collaps gegara pandemi, misalnya. Menurut Ibnu, sebaiknya Kejaksaan melakukan pendekatan yang lebih persuasif dengan melibatkan institusi pemerintah terkait guna merevitalisasi perusahaan tersebut, alih-alih langsung melakukan eksekusi aset.
“Dengan begitu, perusahaan jasa keuangan yang collaps itu bisa hidup kembali dan bisa mendukung perekonomian,” terang Ibnu.
Kalau langkah seperti itu yang dilakukan, Ibnu yakin tidak akan menimbulkan kesan angker terhadap Kejaksaan. “Karena tidak mengedepankan aspek pemidanaan,” pungkasnya.(wan)