IPNews. Jakarta. Tim Kuasa hukum tergugat dari Yayasan Bina Tunas Abadi (YBTA), Dolan Alwindo Colling SH, mengatakan persidangan hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Kamis (12/6/2025) agenda pembuktian dari pihak penggugat. Mereka memberikan sebanyak 50 bukti namun sebagian ada yang ditolak oleh majelis hakim karena keaslian dari bukti tersebut tidak bisa dibuktikan, sehingga majelis memerintahkan kepada penggugat agar melengkapi bukti yang kurang pasca tergugat menyerahkan bukti-bukti.

Meski telah memasuki persidangan masalah sengketa kepemilikan dan pengelolaan Sekolah High Scoope hingga kini belum nampak titik terang, kata Dolan Alwindo Colling didampingi timnya Don Bosco Chandra K Goba SH CCD dan Putrawan Guna SH. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Kamis (12/6/2025)

Dolan menjelaskan YBTA, yang sejak tahun 2008 menjadi pengelola sekolah tersebut, mengeluarkan klarifikasi resmi terkait konflik hukum dengan Yayasan Perintis Pendidikan Belajar Aktif (YPPBA) yang terjadi sejak Desember 2023.

YBTA menegaskan bahwa mereka adalah pihak yang sah secara hukum dalam mengelola Sekolah HighScope Rancamaya Bogor.

Legalitas tersebut ditunjukkan melalui akta pendirian yayasan, SK dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) serta izin operasional dari Dinas Pendidikan yang masih berlaku hingga hari ini.

“Sejak awal, seluruh aspek legalitas operasional sekolah berada di bawah kewenangan YBTA. Kami menjalankan tugas ini dengan penuh tanggung jawab,” ujarnya

YBTA menyebut pengambilalihan oleh YPPBA dilakukan secara sepihak dan tanpa dasar hukum. Tidak ada putusan pengadilan maupun surat kuasa resmi yang membenarkan pengambilalihan aset, staf maupun arus keuangan sekolah oleh YPPBA.

Kuasa hukum YBTA menjelaskan bahwa kerja sama antara mereka dan PT HighScope Indonesia dulunya berjalan dalam skema sub-lisensi, yang saat itu diyakini memiliki afiliasi dengan HighScope Educational Research Foundation (HSERF), lembaga pemilik merek HighScope yang berbasis di Amerika Serikat.

Lisensi

Namun, hasil penelusuran melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham menunjukkan bahwa tidak pernah ada perjanjian lisensi resmi antara HSERF dan YPPBA maupun PT HighScope Indonesia, sebagaimana disyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018.

“Bahkan, ada indikasi bahwa penggunaan nama PT HighScope Indonesia dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik merek asal,” kata Alwindo.

YBTA juga menyampaikan fakta yang jarang diketahui publik: HighScope di Amerika Serikat hanya menyelenggarakan pendidikan untuk jenjang anak usia dini (early childhood), yakni TK. Tidak ada sekolah dasar, menengah atau atas dalam struktur resmi HSERF.

“Ini penting diketahui orang tua murid. Jenjang SD, SMP dan SMA dengan nama HighScope bukan bagian dari sistem resmi HSERF di AS. Kami justru menahan diri untuk membuka SMP dan SMA karena menunggu kejelasan hukum,” tambahnya.

Di awal kerja sama, hubungan antara YBTA dan YPPBA berjalan dalam konteks sub-lisensi, dengan asumsi bahwa YPPBA memiliki hak untuk mendistribusikan lisensi dari HSERF, Amerika Serikat.

Namun setelah ditelusuri, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham, tidak ditemukan perjanjian lisensi resmi yang tercatat antara HSERF dan YPPBA maupun PT HighScope Indonesia.

Berdasarkan perjanjian antara kedua belah pihak, bahwa dalam masa sengketa, pengelolaan sekolah wajib dilaksanakan oleh pihak kedua, namun pihak penggugat juga tidak mematuhi perjanjian tersebut, tutur kuasa hukum tergugat.

Sidang sengketa kepemilikan Sekolah akan dilanjutkn pekan depan dengan agenda penyerahan barang bukti dari tergugat.
(Wan)