IPNews. Jakart. Salah satu dari empat terdakwa dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyaluran kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI), yakni Lia Hertika Hudayani tak kuasa menahan tangis, dengan suara bergetar, memohon agar majelis hakim memberikan keadilan dan membebaskannya dari seluruh tuntutan. “Tolong bebaskan saya, saya bukan penjahat, tidak ada niat untuk membobol bank, saya tidak lagi memiliki aset. Yang saya punya hanya kedua anak saya, yang ingin berkumpul kembali.”

Hal itu diucapkan Lia sambil meneteskan air mata saat membacakan pembelaan (Pledoi) di hadapan majelis hakim yang diketuai Fajar Kesuma Aji di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (12/12/2025).

Saya telah kehilangan segalanya akibat perkara yang menjeratnya. Lia berharap majelis hakim mempertimbangkan kondisi keluarganya, terutama masa depan kedua anaknya yang menurutnya sangat membutuhkan kehadiran seorang ibu. ungkapnya.

Dalam perkara ini ada empat terdakwa yakni Lia Hertika Hudayani, Ferry Syarfariko, Nazal Gilang Ramadhan, serta Lilys Yuliana alias Sansan yang hingga kini masih berstatus daftar pencarian orang (DPO). Para terdakwa didakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp34,51 miliar.

Sebelumnya, dalam tuntutannya, Jaksa Penuntùt Umum (JPU) meminta majelis hakim menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan rincian sebagai berikut: Lia Hertika Hudayani dituntut 6 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp2,8 miliar subsider 1 tahun penjara, Ferry Syarfariko dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan, dan Nazal Gilang Ramadhan dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan.

JPU mendakwa para terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Secara subsider, para terdakwa juga dijerat Pasal 3 UU Tipikor.

Adapun Usai persidangan, Erdi Surbakti penasihat hukum terdakwa Lia Hertika Hudayani, menyampaikan point penting yang disampaikan pledoinya, yang  menyampaikan sejumlah keberatan serius terhadap konstruksi tuntutan yang dibangun JPU.

Menurut Erdi, sejak awal pihaknya telah mengkritisi upaya jaksa yang dinilai menyamaratakan seluruh kesalahan kepada terdakwa tanpa memperhatikan perbedaan kedudukan serta tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antara unit Jakarta Kota dan Daan Mogot.

“Kami mencoba merumuskan ulang tuntutan Jaksa dan menemukan bahwa debitur yang dijadikan dasar perbuatan pidana itu tidak sebesar yang dibangun dalam tuntutan,” ujar Erdi.

Erdi menjelaskan, di Cabang Jakarta Kota dari 93 debitur yang disebutkan jaksa, faktanya hanya sebagian kecil yang relevan. Sedangkan di Daan Mogot, dari 127 debitur, hanya sebagian debitur yang benar-benar diakui dan diproses.

Ia menegaskan, jika ditelusuri secara objektif, jumlah debitur yang benar-benar bermasalah jauh lebih kecil, yakni sekitar 22 debitur di Jakarta Kota dan 47 debitur di Daan Mogot. Kondisi tersebut, menurutnya, berimplikasi langsung pada perhitungan kerugian negara.

“Kalau jumlah debiturnya berkurang, otomatis kerugian yang dibangun dalam tuntutan itu juga berubah dan tidak lagi relevan,” tegasnya.

Selain itu, Erdi juga mengkritisi aspek pembuktian, khususnya terkait audit kerugian negara. Ia menilai auditor yang dihadirkan jaksa tidak memenuhi standar objektivitas dan profesionalisme.

“Dari keterangan ahli audit, ternyata prosesnya hanya berbasis sampling yang disetting, tidak memenuhi syarat audit yang objektif dan profesional,” katanya.

Menurut Erdi, hasil audit yang menyebut kerugian sekitar Rp30 miliar tidak sejalan dengan fakta persidangan dan jumlah debitur yang sebenarnya. Bahkan, ia menilai audit tersebut tidak kredibel namun tetap dijadikan dasar dakwaan dan tuntutan.

“Ini akibat dari auditor yang tidak objektif dan tidak profesional, tapi dipakai sebagai dasar untuk mendakwakan orang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Erdi menilai perkara ini berpotensi mengarah pada kriminalisasi. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab penyaluran kredit tidak sepenuhnya berada pada para terdakwa, khususnya di unit Daan Mogot yang melibatkan pihak lain, termasuk lembaga terkait, namun tidak dimintai pertanggungjawaban hukum.

“Tidak ada konstruksi tanggung jawab langsung maupun tidak langsung terhadap penyaluran kredit keuangan negara yang bisa dibebankan kepada terdakwa,” katanya.

Erdi berharap majelis hakim dapat menilai perkara ini secara objektif dan profesional.

“Mudah-mudahan pledoi yang kami sampaikan bisa menjadi masukan berharga bagi majelis hakim agar perkara ini dinilai secara objektif dan profesional,” pungkasnya.

Sidang selanjutnya dijadwalkan akan mendengarkan tanggapan JPU atas pledoi para terdakwa sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan. (Her)