Sidang agenda Replik oleh penuntut umum dalam perkara vonis lepas CPO (12/11)
IPNews. Jakarta. Penuntut umum meminta agar ketua majelis hakim Tipikor Jakarta, menolak semua pledoi (pembelaan) dari para terdakwa.
Permintaan itu disampaikan Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung saat membacakan replik atau tanggapan atas pembelaan empat mantan hakim dan mantan seorang panitera pengganti, dalam sidang lanjutan perkara vonis lepas terhadap perusahaan minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta. Rabu (12/11/2025)
“Selanjutnya, penuntut umum memohon kepada majelis hakim yang akan mengadili dan memeriksa untuk memutuskan satu, menolak pokok nota pembelaan atau pleidoi terdakwa dan penasihat hukum terdakwa,” ucap JPU.
JPU juga meminta hakim memvonis mantan Ketua PN Jaksel M Arif Nuryanta dan empat terdakwa lainnya sesuai tuntutan yang diajukan.
“Menyatakan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta telah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap yang dilakukan bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan 1 ke-1 subsider penuntut umum,” pinta jaksa.
Selain itu disinggung juga soal pengembalian uang suap yang dilakukan oleh para terdakwa. Pengembalian uang suap, kata jaksa, tidak bisa dijadikan alasan untuk keringanan pidana. Hal tersebut lantaran uang itu memang sudah seharusnya tak diterima oleh mereka.
“Memang sudah sepatutnya dikembalikan karena terdakwa sesungguhnya tidak layak mendapatkan kekayaan dan keuntungan yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi penerimaan suap dalam pengurusan perkara tipikor terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group agar diputus dengan putusan onslag,” terang jaksa.
Menanggapi permintaan pengembalian barang bukti yang diajukan penasihat hukum terdakwa. JPU menegaskan bahwa sejumlah barang bukti, seperti ponsel, buku tabungan, dan perangkat komunikasi, masih diperlukan dalam proses pembuktian terhadap terdakwa lain, termasuk Muhammad Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarif, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan, yang ditangani dalam berkas perkara terpisah. Karena itu, JPU meminta majelis hakim agar tidak mengabulkan permohonan pengembalian barang bukti tersebut.
“Jaksa Penuntut umum memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan terdakwa Djuyamto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 UU Tipikor,” kata JPU menutup pembacaan replik.
Dalam perkara gratifikasi ini, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara. Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
Adapun, mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
Kemudian Panitera Muda PN Jakarta Utara Nonaktif Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan. (Her)

