IPNews. Jakarta. memohon agar majelis hakim Pengadilan Tipikor memberikan putusan yang penuh rasa berkeadilan dengan mempertimbangkan pengakuan kesalahannya serta rekam jejak pengabdiannya selama ini.

Hal itu diungkapkan Djumyanto dalam pembacaan nota pembelaan (pledoi) di ruang sidang Hatta Ali Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).

Djuyamto mengatakan, sejak awal penyidikan dirinya bersikap kooperatif dan berinisiatif datang ke Kejaksaan Agung untuk memberikan keterangan jujur. Dia juga telah mengembalikan seluruh uang suap yang diterimanya
kepada negara melalui Kejaksaan Agung RI sejak tahap penyidikan, namun hal itu tidak dicantumkan jaksa sebagai faktor yang meringankan dalam surat tuntutan.

“Itikad baik saya dilandasi rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam,” tuturnya.

Dia menilai Kejaksaan Agung tidak mempertimbangkan kontribusinya selama ini dalam memutus berbagai perkara-perkara tipikor yang telah membantu negara mengembalikan kerugian hingga triliunan rupiah. imbuhnya.

Dalam pledoi yang dibacakan lebih dari dua jam, Djuyamto juga meminta agar barang bukti yang tidak berkaitan langsung dengan perkara seperti beberapa unit ponsel dan buku tabungan dikembalikan kepada pemiliknya, karena tidak memiliki hubungan dengan tindak pidana yang didakwakan.

“Saya yakin majelis hakim akan menjatuhkan putusan seadil-adilnya berdasarkan keadilan yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa,” katanya.

Dalam nota pembelaannya, Djuyamto memberi judul “Mengakui Kesalahan Adalah Pembelaan Terbaik, Terpeleset oleh Licinnya (Perkara Tindak Pidana Korupsi) Minyak Goreng”.

Di hadapan ketua majelis hakim Effendi, Djuyamto secara gamblang mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya hingga menyeretnya ke meja hijau. “Saya menyadari bahwa kesalahan fatal ini telah menghancurkan karier panjang saya sebagai hakim selama 23 tahun,” tuturnya.

Dalam pledoi yang dibacakannya hampir dua jam ini, Djuyamto menuturkan perjalanan panjang kariernya sebagai hakim sejak tahun 1998.

Ia pun menyebut belum pernah sekalipun dijatuhi sanksi atau dilaporkan ke Komisi Yudisial atas pelanggaran etik maupun disiplin, bahkan Ia pernah menerima penghargaan Satyalancana Karya Satya XXX dari Presiden RI atas pengabdiannya selama 30 tahun tanpa cacat. Namun, di tengah pengabdian panjangnya itu, Djuyamto mengakui dirinya “terpeleset” dalam perkara korupsi yang menjeratnya.

Djuyamto menyebut keterlibatannya dalam perkara suap perkara CPO minyak goreng bukan karena keserakahan, melainkan karena kekhilafan dan tekanan moral dalam membantu kegiatan sosial dan keagamaan.

Menurut Djuyamto, sebagian besar uang yang diterimanya justru digunakan untuk kegiatan sosial dan kebudayaan. “Sekitar 85 persen dari uang tersebut saya gunakan untuk mendukung pembangunan kantor MWC NU Kartasura, pembuatan Wayang Babad Kartasura, dan pelestarian budaya daerah,” katanya.

Dirinya juga menegaskan bahwa penerimaan uang tidak didahului oleh permintaan dari dirinya maupun majelis hakim lainnya.

Djuyamto menyebut, uang itu diberikan secara inisiatif oleh pihak yang berkepentingan terhadap perkara, tanpa ada tekanan dari majelis hakim.

Menutup pledoinya, Djuyamto mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “Kullu bani Adam khaththa’un wa khairul khaththa’ina at-tawwabun” yang artinya Setiap anak Adam (manusia) pasti berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat. (HR. Tirmidzi). (Her)