Foto: Mantan Kepala BAIS Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto

IPNews. Jakarta. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, mengkritik keras pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, yang menyebut Polri sebagai penyidik utama dalam segala tindak pidana dan bahwa berkas perkara hanya dapat diterima Jaksa dari penyidik Polri.

Menurut Ponto, pandangan tersebut berpotensi melumpuhkan keseimbangan sistem peradilan pidana dan menabrak prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan KUHAP.

“Pernyataan itu tampak sederhana, tapi secara konstitusional menabrak prinsip checks and balances. Polri bukan penyidik tunggal. Ia hanya penyidik umum dan harus berbagi ruang dengan penyidik khusus seperti PPNS, KPK, BNN, dan POM TNI,” ujar Ponto dalam tulisannya, Senin, (10/11/2025).

Kritik Konsep “Penyidik Utama”

Dalam analisisnya berjudul “Jaksa Terpasung, Hakim Terkunci: Dampak Pernyataan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej Tentang Polri”, Ponto menilai bahwa gagasan menjadikan Polri sebagai penyidik tunggal akan menciptakan efek sistemik yang berbahaya.

Ia mengingatkan bahwa Pasal 6 ayat (1) KUHAP dengan tegas membedakan dua jenis penyidik: penyidik umum dari Polri dan penyidik khusus dari pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang.

“Kalau seluruh perkara hanya bisa disidik dan dilimpahkan oleh Polri, maka PPNS dan lembaga khusus kehilangan yurisdiksi, Jaksa kehilangan otonomi, dan Hakim terkunci pada satu sumber fakta hukum,” tegasnya.

Menabrak Prinsip Konstitusional

Ponto menyebut, gagasan Wamenkumham tersebut bertentangan dengan beberapa pasal konstitusi, antara lain:

– Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan;

– Pasal 24 ayat (1) yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan

– Pasal 30 ayat (4) yang membatasi tugas Polri pada pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum, tanpa monopoli atas seluruh proses peradilan pidana.

“Jika semua perkara hanya bisa disidik oleh Polri, maka Jaksa menjadi terpasung dan Hakim terkunci,” tulis Ponto.

Menurutnya, hal itu akan menimbulkan “epistemic monopoly”, atau monopoli atas kebenaran hukum, yang mengancam keadilan substantif serta independensi antar lembaga penegak hukum.

Khawatir Lahir Superbody Baru

Lebih jauh, Ponto memperingatkan potensi lahirnya “superbody” baru di tubuh Polri bila konsep tersebut dimasukkan dalam revisi KUHAP.

“Begitu hal ini diterapkan, sistem peradilan kita kehilangan keseimbangan. Polri memegang kendali penuh atas penyidikan, Jaksa tak lagi menjadi dominus litis (pengendali perkara), dan Hakim hanya memeriksa perkara versi Polri,” katanya.

Empat Solusi Korektif

Sebagai solusi, Ponto mengusulkan empat langkah korektif:

1. Mengembalikan Polri pada fungsi aslinya sebagai penyidik umum, bukan penyidik utama;
2. Mempertegas peran Jaksa sebagai pengendali perkara agar tetap dapat menerima berkas dari penyidik umum maupun khusus;
3. Membangun sistem koordinatif horizontal antar lembaga penegak hukum untuk menjaga keseimbangan; dan
4. Memperkuat mekanisme checks and balances dalam revisi KUHAP.

“Negara hukum yang adil bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tetapi tentang bagaimana kekuasaan itu saling mengawasi,” pungkas Ponto.

Jadi Sorotan di Kalangan Hukum

Tulisan Ponto kini menjadi sorotan di kalangan akademisi, praktisi, dan penegak hukum. Banyak pihak menilai pandangan mantan Kepala BAIS itu sebagai peringatan dini terhadap bahaya sentralisasi kekuasaan hukum, terutama menjelang pembahasan revisi KUHAP dan restrukturisasi sistem peradilan pidana nasional. (RK/Tim)