Ketum LBH Cahaya Hukum Rinto E Paulus Sitorus bersama Santo Nainggolan kuasa hukum penggugat
IPNews. Jakarta. Santo Nainggolan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cahaya Hukum Indonesia selaku kuasa hukum penggugat Seherna Wati Situmpul sangat kecewa dan menyayangkan kepada majelis hakim diketuai M. Yusuf yang tidak memberikan putusan yang adil dan obyektif, dengan memutus NO (Niet Ontvankelijke Verklaard), dalam sidang perdata terkait perkara gugatan terhadap PT BPR Sarana Multidana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan NO dan tidak ada pertimbangan lain ini oleh Ketua Majelis Hakim dalam Perkara Nomor : 617/Pdt. G/2021/PN Jkt.Pst. Kami juga sangat kecewa atas putusan tersebut dan akan mengajukan antara banding atau menggugat ulang, karena kami nilai ini tida konsekuen ujar Santo usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (23/6/22)
Santo juga menjelaskan “Selama proses persidangan pihak tergugat telah tiga kali mengganti kuasa hukumnya. Dalam putusan yang paling disesalkan terhadap Majelis Hakim M. Yusuf, hanya mempertimbangkan eksepsinya saja, tidak ada mempertimbangkan dalil-dalil dari kami selaku penggugat,” ungkapnya.
Seharusnya majelis hakim dapat melihat mana yang beritikad baik yang benar dan mana yang tidak. Pihaknya juga berencana menyampaikan kepada hakim Pengawas, dikarenakan dugaan kami majelis hakim tidak obyektif dan cermat dalam menangani perkara gugatan ini.
Adapun gugatan perbuatan melawan hukum ini dilayangkan oleh Seherna Wati Sitompul terhadap PT. BPR Sarana Utama Multidana pada 12 Oktober 2021, melalui kami Tim Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cahaya Hukum Indonesia.
Dalam gugatannya, penggugat menyatakan perbuatan tergugat yang menarik kendaraan miliknya dilakukan secara sewenang-wenang dan tidak sesuai prosedur merupakan perbuatan melawan hukum. Bertentangan dengan asas kepatuhan, dan ketelitian Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor: 35/ PJOK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Pembiayaan.
Klien kami, Ibu Seherna Wati Sitompul yang notabenenya masyarakat kecil sangat terdampak akibat perbuatan pihak tergugat,” coba bayangkan Ibu Seherna Wati Sitompul seorang ibu rumah tangga yang memiliki 3 anak, mempunyai suami sejak akhir 2020 telah meninggalkan keluarga pasca penarikan angkot yang dilakukan secara sewenang wenang oleh tergugat, ungkapnya.
Sementara Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cahaya Hukum Indonesia, Rinto E Paulus Sitorus, menyayangkan putusan Majelis Hakim pimpinan M. Yusuf yang memutus NO (niet ontvankelijke verklaard), terkait perkara gugatan perdata yang diajukan anggota dari jajaranya selaku kuasa hukum penggugat terhadap PT. BPR Sarana Utama Multidana selaku tergugat.
Menurut Rinto, pernyataan Hakim yang mengatakan hubungan hukum sudah terbukti dan tidak perlu dipertimbangkan adalah Hakim pemalas.
Coba kita telaah bersama sampai putusan saja, mereka tiga kali berganti kuasa. jadi pertanyaan, hakim tidak memandang itu. Ini buat pelajaran hakim hakim yang lain. Hakim itu jangan karena masyarakat kecil yang menggugat, malas untuk memutuskan.
Ini kan pertimbangan hukumnya pertimbangan hukum pemalas. Jadi hakim-hakim pemalas seperti ini tidak cocok untuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas 1A yang notabenenya sebagai barometer lagi.
Sebagai Hakim seharusnya menjawab seluruh tuntutan dari masyarakat pencari keadilan, jangan karena masyarakat kecil yang menggugat, malas membuat pertimbangan dalam putusannya,” ungkapnya.
Kalau bisa hakim-hakim yang malas dalam menyusul gugatan yang tidak bisa membuat pertimbangan yang memuaskan kedua belah pihak tidak pantas untuk di Jakarta.
Ini kan tadi seperti yang Pak santo sampaikan, satu pun pertimbangannya tidak ada. Hanya mengatakan hubungan hukum.
Hubungan hukum ya kalau begitu nggak usah jadi hakim. Dia itu harus menjawab seluruh tuntutan dari masyarakat yang mencari keadilan. Disini kan nggak, hubungan hukum sudah terbukti yang lain nggak usah di pertimbangan nggak bisa begitu.
Saya mau tanya ini kepada ketua Mahkamah Agung atau ketua pengadilan nanti, apakah boleh seperti itu? ” supaya NO, NO, NO.
Gugatan pencari keadilan yang golongan rakyat yang rendah, itu akan bisa berpotensi dibilang di tolak. Karna apa? Lawannya satu, tidak punya uang, dalam mengajukan gugatan aja kita yang subsidi.
Nah ketika hakim sudah melihat seperti itu, saya mencurigai diduga dalam tanda kutip, petimbangan tidak ada saya mencurigai seperti itu, wajarkan, ujar Rinto yang sedang merampungkan Magister Hukum di Universitas Indonesia.
Ya kenapa hakim tidak mempertimbangkan satu pun? Hanya mempertimbangkan hubungan hukum saya pikir hakim tidak idealis dalam memutuskan perkara.
Dia hanya memikirkan bagaimana, apa yang bisa menguntungkan pribadinya dia. Jadi kita kecewa luar biasa.
Kalau memang pertimbangannya adil, dalam artian pertimbangannya itu dipertimbangkan seluruhnya gitu, posisinya apa, mengenai hubungan hukum dan juga fakta hukum persidangan seperti saksi-saksi apakah hakim Mendengar kan itu?
Nah ini yang menjadi miris, mirisnya besok-besok masyarakat yang akan mengajukan persoalan ke pengadilan yang katanya adalah Pengadilan yang Agung itu nggak ada. Jauh dari harapan.
Kami menilai hakim tidak idealis dalam memutus perkara ini, Kami berharap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bisa mendengar dan mengoreksi putusan ini apakah itu sudah bener berdasarkan hati nurani atau berdasarkan bagaimana ada kepentingan pribadi, ungkapnya.
Sementara itu, pihak tergugat belum dapat dikonfirmasi. Begitu juga dengan Majelis Hakim PN Jakpus yang memutus perkara tersebut, (Her)