IPNews. Kalbar. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat menahan lima tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di Bank Kalbar cabang Bengkayang.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalimantan Barat (Kalbar), Dr Masyhudi SH MH, mengungkapkan,”penahanan kelima tersangka oleh tim penyidik usai dilakukan pemeriksaan secara intensif.

Para tersangka itu diduga melakukan korupsi di Bank Kalbar cabang Bengkayang.Adapun, “Kelima tersangka yang ditahan Kejati Kalbar itu adalah AM, AS, AR, SS, dan TW,”kata Masyhudi, Kamis malam (17/06/2021).

Masyhudi menjelaskan, AM adalah Direktur CV Parokng Pasuni yang menerima dana kredit pengadaan barang atau jasa (KPBJ) sebesar Rp 226 juta untuk dua paket pekerjaan. Kemudian tersangka AS selaku Direktur CV Tuah Page menerima dana KPBJ sebesar Rp 113 juta untuk satu paket pekerjaan.

Kemudian, tersangka AR selaku pelaksana CV Muara usaha menerima dana KPBJ sebesar Rp 339 juta untuk tiga paket pekerjaan. Lalu, tersangka DD selaku Direktur CV Sbintir menerima dana KPBJ sebesar Rp 226 juta untuk dua paket pekerjaan. Dan tersangka TW selaku Direktur CV Pelangi Kasih menerima dana KPBJ sebesar Rp 227 juta untuk dua paket pekerjaan.

Modus dugaan korupsinya, yakni masing-masing tersangka tersebut menandatangani SPK yang isinya direkayasa atau fiktif, dimana di dalam setiap SPK seolah-olah terjadi proses pengadaan barang atau jasa (penunjukan langsung) padahal proses tersebut tidak pernah dilaksanakan.

“Namun pembayaran atau pengembalian uang kredit tidak bisa dilaksanakan, karena proyek tersebut (SPK dan DIPA) fiktif, sehingga akibat perbuatan para tersangka tersebut ikut mengakibatkan kerugian keuangan negara dan daerah atau Bank Kalbar sebesar Rp 8,2 miliar,” jelas Masyhudi.

Dia mengungkapkan, dalam kasus tersebut telah dilakukan pemulihan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,3 miliar yang telah dititipkan di rekening titipan pada Bank Mandiri.

“Pemulihan keuangan negara tersebut berasal dari 30 SPK atau dari 18 perusahaan,” kata mantan Inspektur di Kejaksaan Agung itu.

Menurutnya, hingga saat ini dari para tersangka sama sekali belum ada uang yang disita sebagai barang bukti yang nantinya sebagai pengembalian kerugian negara.

Kasus tersebut berawal dari terdapat 31 perusahaan atau 74 paket pekerjaan memperoleh kredit pengadaan barang atau jasa (KPBJ) dari salah satu bank di Bengkayang, dengan jaminan atau agunan berupa Surat Perintah Kerja (SPK) yang ditandatangani oleh HM seolah-olah selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang kini sudah diputus di Pengadilan Negeri (PN), kemudian tersangka Sup (1 SPK) dan Gun (73 SPK) selaku Pengguna Anggaran Kemendes PDTT, dan pihak perusahaan yang bersangkutan.

Lalu di dalam SPK itu dicantumkan tentang sumber anggaran proyek, yaitu Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KPDTT) tahun anggaran 2018.

“Kemudian para tersangka selaku direktur perusahaan pemohon dan penerima KPBJ di salah satu bank di Bengkayang bersama-sama dengan tersangka MY dan tersangka SR mempersiapkan dokumen-dokumen kontrak, SPK dan mengurus permohonan kredit dengan jaminan SPK atas lima perusahaan tersebut yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya,” tutur Masyhudi.

Akibat perbuatannya para tersangka mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 8,8 miliar, perbuatan tersangka melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), (2), (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(wan).