IPNews. Jakarta. Pelaksanaan eksekusi seharusnya dilakukan berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Nomor: 90/2017.Eks jo. 495/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Pst jo. 511/PDT/2015/PT.DKI jo. 1782 K/Pdt/2016 jo. 57 PK/PDT/2018 jo. 643 PK/PDT/2019 tertanggal 18 Juli 2023. Namun rencana eksekusi pengosongan bidang tanah dan bangunan di Jalan Yusuf Adiwinata Nomor 15, Menteng, Jakarta Pusat, batal dilaksanakan pada Rabu (29/10/2025). “Pembatalan itu diduga dipicu oleh surat dari kuasa hukum pihak termohon eksekusi yang meminta kepolisian tidak memberikan bantuan pengamanan.

Hal itu dikatakan Kuasa hukum pemohon eksekusi, Purnama Sutanto, SH, kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2025)

“Objek yang akan dieksekusi adalah tanah dan bangunan seluas 687 meter persegi dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 431/Gondangdia atas nama Noraini Bawazier,” ujarnya

Sebelum pelaksanaan, kuasa hukum Noraini, Srie Melyani, SH, melayangkan surat resmi kepada Kapolres Metro Jakarta Pusat bernomor A-SM040/X/YA/2015, yang berisi permohonan agar polisi tidak memberikan bantuan pengamanan terhadap eksekusi tersebut.

Dalam suratnya, Srie beralasan perkara yang menjadi dasar eksekusi bukan sengketa hak, melainkan gugatan “ingin membeli” dari penggugat terhadap tanah milik kliennya. “Penggugat bukan pemilik, dan dalam amar putusan juga tidak dinyatakan sebagai pemilik. Karena itu, ia tidak memiliki legal standing dalam perkara ini,” tulisnya.

Srie juga menyinggung bahwa putusan perkara tersebut telah dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI pada Agustus 2024. Dalam rapat itu, Komisi III disebut menyimpulkan bahwa putusan dimaksud bersifat non-executable karena bertentangan dengan hak kepemilikan sah Noraini Bawazier.

Akibat adanya surat tersebut, pelaksanaan eksekusi akhirnya ditunda.

“Eksekusi gagal karena adanya surat pengacara. Aneh tapi nyata. Ini preseden buruk bagi penegakan hukum karena efeknya personal,” kata Purnama. Ia menilai tindakan itu berpotensi menurunkan wibawa lembaga peradilan.

“Jika setiap pihak bisa membatalkan putusan pengadilan hanya dengan surat permohonan, ini akan menjadi contoh buruk bagi kepastian hukum di Indonesia,” ujarnya menambahkan.

Purnama mengingatkan, penundaan eksekusi seharusnya juga mempertimbangkan arahan Presiden Republik Indonesia kepada aparat penegak hukum agar menegakkan hukum secara berkeadilan, di antaranya:

1. Larangan mengkriminalisasi rakyat kecil dan mencari-cari kesalahan;
2. Penghentian praktik mencari-cari masalah dalam penegakan hukum;
3. Penegakan hukum dengan hati nurani, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas;
4. Perlindungan terhadap rakyat lemah; dan
5. Evaluasi internal agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

“Penegakan hukum harus dilakukan dengan keadilan, hati nurani, dan berorientasi pada kemanusiaan,” kutip Purnama.

Sementara itu, kuasa hukum pemohon lainnya, Hendri Donal, SH, menegaskan bahwa eksekusi merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Setiap putusan pengadilan yang sudah inkracht dan tidak dijalankan secara sukarela dapat dieksekusi secara paksa. Dalam hal ini, pengadilan meminta bantuan pengamanan kepada kepolisian, dan polisi wajib memberikan dukungan tersebut demi kepastian hukum,” ujarnya.

Menurut Hendri, alasan kepolisian menunda pengamanan dengan merujuk pada surat kuasa hukum pihak termohon merupakan pelanggaran terhadap aturan main.

“Jika benar demikian, maka tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai upaya menghalang-halangi pelaksanaan eksekusi, yang jelas merupakan perbuatan melawan hukum,” tegasnya.

Hendri juga menilai penggunaan hasil RDPU DPR sebagai dasar penundaan eksekusi adalah bentuk kekeliruan. “DPR tidak memiliki kewenangan untuk mengekseminasi atau menilai putusan pengadilan. Itu sudah di luar fungsi dan kewenangannya,” ujarnya.

Ia menambahkan, tugas penegakan hukum, termasuk pelaksanaan eksekusi, berada di bawah kewenangan Mahkamah Agung melalui pengadilan negeri.

“Apapun alasannya, hukum harus ditegakkan demi menjamin kepastian hukum. Meskipun bumi dan langit bersatu, hukum tetap harus ditegakkan,” pungkasnya.

Peristiwa di Jalan Yusuf Adiwinata Nomor 15, Menteng, kini menjadi perhatian publik dan praktisi hukum. Kasus ini memunculkan perdebatan: apakah aparat penegak hukum berhak menunda pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap hanya berdasarkan surat permohonan (Her)