IPNews. Jakarta.Kejaksaan RI mengeksekusi terpidana Djoko Sugiarto Tjandra langsung ke Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat, untuk menjalani hukuman selama 2 tahun penjara. Setelah Kepolisian berhasil menangkap Djoko Tjandra dari Malaysia.

“Eksekusi itu dilaksanakan berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) Nomor : 12K/Pid.Sus/2008 tanggal 11 Juni 2009 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht),” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, kepada wartawan di Jakarta, Senin (03/08/2020).

Hari menjelaskan, pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde) dalam perkara pidana merupakan bagian dari penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang.

Undang-Undang itu adalah Pertama, pasal 270 KUHAP yang menyatakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat kepadanya.

Kedua, pasal 30 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyatakan di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ketiga, pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa.

Hari mengatakan, eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), sedangkan terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

“Hal ini tentu berbeda dengan pengertian Penahanan yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang,” jelas Hari.

Menurut Hari, surat putusan pemidanaan diatur dalam pasal 197 KUHAP, namun tentunya dalam memahami pasal 197 KUHAP haruslah dikaitkan dengan pasal sebelumnya yaitu pasal 193 KUHAP.

Perlu dijelaskan pula bahwa dalam perkara tertentu dimana jenis perkara tersebut memang tidak dapat dikenakan penahanan terhadap Terdakwa, jika pengadilan memerintahkan terdakwa untuk segera ditahan justru pengadilan melanggar hukum.

Selain itu, tutur Hari, dalam kondisi-kondisi tertentu lainnya walaupun perkara yang dinyatakan terbukti adalah perkara atas tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan, namun pengadilan juga tidak akan memerintahkan agar terdakwa untuk segera ditahan (apabila sebelumnya ia tidak ditahan), yang mana jika pengadilan memerintahkan agar terdakwa segera ditahan maka putusan justru akan menjadi tidak masuk akal, yaitu terhadap putusan-putusan dimana hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah hukuman percobaan (pidana bersyarat) sebagaimana pasal 14 a KUHP atau putusan-putusan dimana hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan hanyalah pidana denda.

“Dalam putusan dimana hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman percobaan (pidana bersyarat) pengadilan tidak perlu memerintahkan penahanan,” ucap Hari.

Kondisi lainnya, tambah Hari, yang memungkinkan pengadilan tidak memerintahkan agar terdakwa segera ditahan adalah jika pengadilan tidak mau memerintahkan hal tersebut, perintah penahanan tersebut adalah diskresi pengadilan.

“Sah jika pengadilan tidak menggunakan kewenangan diskresionalnya (pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP). Selain itu, perintah penahanan tersebut juga tidak dapat dilakukan jika masa wewenang penahanan yang dimiliki pengadilan telah habis,” kata Dia.

Berdasarkan uraian tersebut diatas haruslah dibedakan pengertian antara penahanan untuk tersangka atau terdakwa selama proses pemeriksaan berlangsung yang merupakan instrumen untuk mencegah tersangka atau terdakwa , sedangkan hukuman/pidana adalah penderaan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang diatur oleh undang-undang sebagai konsekuensi atas perbuatan yang menurut proses peradilan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa.

Selain itu, tambah Hari, perintah penahanan juga dibatasi secara limitatif dalam pasal 26, 27 dan 28 KUHAP sesuai tingkatannya, dimana penahanan dapat dilakukan terhadap putusan yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap dari mulai Putusan tingkat pertama, putusan Banding dan putusan Kasasi.

Sedangkan dalam upaya hukum peninjauan kembali (PK) tidak ada aturan yang dapat digunakan untuk melakukan penahanan karena perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

“Sehingga yang dilakukan oleh Jaksa adalah melakukan eksekusi hukuman badan untuk menjalankan putusan hakim PK bukan melakukan penahanan,” tandas Hari.

Hakim PK, kata Hari, tidak akan memberikan penetapan mengenai status terdakwa seperti dalam pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP karena memang tidak terdapat kewenangan hakim PK untuk melakukan penahanan, apabila disebutkan maka justru merupakan hal yang melawan hukum.

Hari menegaskan, dengan telah dilaksanakannya eksekusi tersebut sesuai dengan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang ditanda tangan oleh terpidana Djoko Soegiarto Tjandra, Jaksa Eksekutor dan Kepala Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat, maka tugas Jaksa telah selesai.

“Sedangkan untuk penempatan terpidana menjalani pidananya adalah menjadi kewenangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia,” tutupnya. (wan)