IPNews. Jakarta. Sidang putusan perkara pemalsuan surat putusan Mahkamah Agung (MA) dan dugaan pelanggaran etik sebagai dosen, dengan terdakwa Guru Besar Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Marthen Napang, ditunda 2 pekan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu, (26/2/2025).

Pada sidang yang dimulai sekitar pukul 16.00 WIB tersebut, terdakwa Marthen Napang, dihadirkan langsung dikursi pesakitan. Sidang tersebut dibuka untuk umum yang juga dihadiri saksi korban Dr John Palinggi, MM MBA bersama Kuasa Hukumnya Muhammad Iqbal, para wartawan dan masyarakat umum.

Kuasa hukum korban Muhammad Iqbal mengatakan, “Perkara ini bergulir sejak tahun 2017 sejak pertemuan saksi korban dengan terdakwa pada Mei 2017. Saksi korban waktu itu meminta terdakwa untuk membantu mengurus putusan di Mahkamah Agung (MA). Kemudian terdakwa meminta saksi korban untuk menyiapkan uang sebanyak Rp 850.000.000 (delapan ratus lima puluh juta). Setelah saksi korban mentransfer uang yang diminta tersebut, kemudian terdakwa mengirimkan surat putusan MA No 219 PK/PDT/2017 tanggal 12 Juni 2017 dalam perkara atas nama Ir Akie Setiawan sebagai Pemohon Peninjauan Kembali (PK).

Setelah pengecekan terhadap putusan MA tersebut yang dikirimkan terdakwa, dan kemudian saksi korban mendapatkan putusan PK yang dikirimkan terdakwa tersebut adalah palsu.

Setelah terdakwa tak merespon permintaan klarifikasi yang diminta saksi korban, sehingga saksi korban melayangkan tiga buah surat ke pihak Unhas Makassar ditujukan ke ketua lembaga satuan pengawas internal dan ke pihak rektor Unhas dimana terdakwa bekerja dan mengajar, perihal laporan pengaduan perilaku cacat etika, penipuan dan pemalsuan surat MA oleh terdakwa.

Atas tiga buah surat yang dikitimkan saksi korban ke rektorat Unhas, Kemudian terdakwa melaporkan saksi korban ke Poltabes Makassar pada 29 September 2017 atas tuduhan fitnah.

Karena dianggap tak cukup bukti kemudian laporan terdakwa tersebut di SP3 oleh Poltabes Makassar pada 20 Februari 2020. Tak puas dengan SP3 tersebut, terdakwa kemudian melakukan pra peradilan di PN Makassar pada 13 April 2020, dan hasilnya laporan terdakwa ini ditolak PN Makassar karena tak memiliki bukti yang kuat. Kemudian perkara ini berlanjut ke pihak Polda Metro Jaya, kemudian ke kejaksaan hingga saat ini dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat. (Her)