Indoposnews, Jakarta – Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat (28/5), kembali menggelar sidang lanjutan
dugaan tindak pidana korupsi penjualan kondensat bagian negara pada Badan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI), yang menjadikan mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono sebagai terdakwa, beserta Presiden Direktur PT. TPPI Honggo Wendratno (in absentia).

Dalam persidangan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU), membacakan keterangan ahli yang tidak dapat hadir karena sakit.Namun sebelum keterang ahli tersebut dibacakan, penasehat hukum terdakwa Raden Priyno, Tumpal Hutabarat komplin karena besic saksi dan latar belaian pendidikannya sebagai ahli tersebut tidak sesuai dengan keahliannya.

Usai dibacakan keterangan ahli oleh JPU, Agenda persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa Raden Priyono dan Djoko Harsono. Keduanya diambil sumpahnya, untuk diperiksa sebagai saksi terhadap terdakwa Honggo Wendratno.

Selain memberikan keterangan sebagai saksi, keterangan Raden Priyono dan Djoko Harsono juga dapat diambil dan djadikan keterangannya sebagai terdakwa. Nah, dalam kesempatan tersebut, para tim JPU mempertanyakan kepada kedua terdakwa terkait penunjukan PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara sebagaimana yang didakwakanya,

Menjawab pertanyaan JPU, terlihat dengan gamblang Djoko Harsono mengatakan bahwa penjualan kondensat bagian negara dengan cara penunjukan langsung kepada PT. TPPI dilakukan dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah yang diputuskan dalam rapat kabinet terbatas pada tanggal 21 Mei 2008. Dalam rapat tersebut langsung dipimpin Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden RI.

Dari hasil rapat itu menurut Djoko untuk menindaklanjuti kebijakan pemerintah tersebut, Kementerian ESDM meminta BP Migas agar mendukung kebijakan pemerintah tersebut. Supaya kilang PT. TPPI dapat beroperasi kembali mengingat saham mayoritas di TPPI tersebut milik negara.

“Permintaan Kementerian ESDM untuk melaksanakan kebijakan pemerintah tersebut melalui rapat di Kemeterian ESDM yang dihadiri Djoko Harsono mewakili Kepala BP Migas Raden Priyono. Rapat tersebut terjadi pada September dan Nopember 2008. Hasilnya ditindaklajuti dengan terbitnya surat Dirjen Migas No 22613/13/DJM.E/2008 tanggal 18 Desember 2008 meminta Kepala BP Migas segera menindak lanjuti kebijakan pemerintah tersebut untuk memasok kondensat bagian negara untuk keperluan kilang TPPI,” ucapnya di persidangan.

Lebih lanjut Djoko mengatakan bahwa draft surat penunjukan TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tersebut dibuat dan dipersiapkan oleh tim penjual kondensat bagian negara dan telah dikaji dari aspek hukum yang kemudian diajukannya melalui nota dinas untuk ditandatangani Raden Priyono selaku kepala BP Migas.

“Dalam nota dinas tersebut dijelaskan bahwa penunjukan TPPI tersebut telah dibahas dalam rapat-rapat dengan Kementerian ESDM, Kemeterian Keuangan serta tim penunjukan di BP Migas,” jelasnya.

Selanjutnya JPU kembali mencecar pertanyaannya kepada Djoko dengan mengatakan pada saat menjadi Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas dan menjabat Deputi Keuangan sejak 17 Maret sampai 14 Agustus 2009. Apa saja hal-hal yang dilaporkan oleh devisi akutansi? ucapnya bertanya.

Dengan tegas Djoko menjawab dan mengatakan terkait PT TPPI itu, selama Dia menjabat, Ia hanya menerima laporan, dan semuanya tidak ada masalah. Karena sejak pengiriman/lifting kondesat pada tanggal 23 Mei 2009 ke PT TPPI sampai dengan Agustus 2009 sudah dibayar lunas semua pengiriman kondensat tersebut.

“Devisi akutansi itu tidak pernah melaporkan ada masalah mengenai pembayaran PT TPPI terkait kondensat, tidak ada masalah. Pada saat saya pensiun pun, saya menerima laporan bahwa TPPI sudah membayar lunas pengiriman kondensat sampai dengan Agustus 2009,” tegasnya.

Kebijakan Pemerintah

Sedangkan menurut Raden Priyono dalam kesaksiannya, Ia mengakui telah menandatangani surat penunjukan TPPI yang diajukan sebagaimana yang telah diterangkan pak Djoko Harsono, ujarnya dalam persidangan lanjutan setelah istirahat sholat Mahgrib.

“Penunjukan TPPI melalui surat yang ditandatanganinya tersebut semata-mata hanyalah melaksanakan kebijakan pemerintah serta adanya Surat Menteri Keuangan Nomor: S-85/MK.02/2009, tanggal 12 Februari 2009 tentang tatacara pembayaran terhadap Kondensat bagian negara yang dipasok BP Migas kepada TPPI,” jelasnya.

Kemudian Raden Priyono menegaskan bahwa dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dan menunjuk langsung PT. TPPI sebagai pembeli kondensat itu, tidak bertentangan dengan Keputusan Kepala BP MiGAS Nomor : KPTS-20/BP00000/2003/ -SO tanggal 15 April 2003. Tentang tata cara penunjukan penjualan minyak mentah/ Kondensat bagian Negara. Dikarenakan untuk kepentingan kilang dalam negeri sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala BP MiGAS Nomor : KPTS-20/BP00000/2003/ -SO tanggal 15 April 2003 dimaksud.

“Penunjukan langsung tersebut sama halnya dengan kondensat bagian negara yang dipasok oleh Pertamina. Semuanya dilakukan dengan cara penunjukan langsung, disamping karena untuk kilang dalam negeri dan juga untuk jaminan pasokan BBM dalam negeri. Sehingga tidak melalui lelang, Karena harga Kondensat (minyak mentah) bagian negara tersebut merupakan harga Indonesia Crude Price/ICP flat) yang ditetapkan pemerintah melalui Kementerian ESDM,” tegasnya.

Selanjutnya kedua terdakwa menjawab pertanyaan majelis hakim, pada intinya mereka menyatakan tidak pernah menerima sesuatu apapun dan janji dari pihak TPPI maupun dari pihak lainnya, dalam menunjuk langsung PT. TPPI sebagai pembeli kondensat bagian negara tersebut.

Sementara itu, setelah persidangan usai, Penasehat hukum mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, Tumpal H Hutabarat mengatakan bahwa keterangan yang dikatakan para terdakwa dalam menunjuk TPPI tersebut, berdasarkan kebijakan pemerintah. Dan mereka melaksanakannya dalam rangka menjalankan kewajiban hukumnya.

“Jadi, sebagaimana keterangannya dalam persidangan yang telah berlangsung, mereka hanya menjalankan kebijakan pemerintah dan keteranganya tersebut sejalan dengan keterangan yang telah disampaikan Pak Jusuf Kalla pada persidangan sebelumnya yang mengatakan bahwa BP Migas itu menjalankan kebijakan pemerintah, ujarnya kepada wartawan usai persidang yang berlansung secara marathon hingga pukul 22.30 malam.

Lebih lanjut Tumpal mengatakan bahwa tujuan diberikannya kondensat itu karena pada saat itu kondisi ekonomi negara kita lagi merosot. Nah, untuk memgurangi import serta untuk menaggulangi kelangkaan minyak di wilayak Jawa Timur itulah, akhirnya timbul kebijakan pemerintah agar kilang TPPI dapat berjalan maka diminta kepada BP Migas agar sebagian kondensat bagian negara dijual kepada PT TPPI.

“Kebijakan pemerintah tersebut sudah tepat dan benar, karena mengingat PT.TPPI yang memiliki kilang untuk megolah kondensat menjadi BBM serta produk turunanya, saham mayoritasnya milik pemerintah,” imbuhnya.

Sebab kata Tumpal, tindakan Kepala BP Migas maupun Deputi Financial, Ekonomi dan Operasi BP Migas, disamping dalam melaksanakan kebijakan pemerintah, tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Karena dilakukan dengan itikad baik, tidak ada feed back atau keuntungan yang diperoleh (tidak ada mens rea) dalam melaksanakan kebijakan atau instruksi Wapres tersebut.

Perdata

Selanjutnya, ketika ditanya mengenai, kasus kondensat yang diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp.35 Triliun ini, dengan lantang pengacar senior itu mengatakan bahwa kasus kondensat ini, adalah kasus perdata. Karena kerugian negara yang didakwakan JPU tersebut hanyalah terkait sisa kekurangan pembayaran kondensat yang dibeli PT TPPI sebesar USD 139 juta dengani total pengiriman kondensat sebesar USD 2,72 milyar.

“Jadi, kasus kondensat ini bukanlah kasus korupsi yang mengakibatkan kerugian negara. Melainkan hutang PT TPPI yang hingga saat ini masih tercatat di Kementerian Keuangan; sebagai pihuatang negara jangka panjang. Dimana piutang tersebut diikat dengan jaminan fidusia, serta hutang tersebut juga telah dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP-LKPP) BPK RI setiap tahun, dan telah dilaporkan ke DPR RI, DPD, serta Presiden RI,” tegasnya.

Ironisnya, PT. TPPI tersebut kata Tumpal saham mayoritasnya milik negara, kemudian memiliki hutang kepada negara. Lantas dimana kerugian negaranya,?ungkap Tumpal sambil bertanya-tanya seraya mengatakan jika merujuk kepada pengertian kerugian negara, baik dalam UU Keuangan Negara maupun UU Tindak Pidana Korupsi, kerugian negara adalah berkurangnya harta atau uang milik negara akibat perbuatan melawan hukum atau karena kelalaian.

“Sedangkan faktanya berupa hutang TPPI yang mayoritas sahamnya milik negara. Artinya jelas membuktikan tidak berkurangnya harta atau uang milik negara. Tetapi hanya berbeda tempat saja, namun semuanya milik negara. Oleh karena itu menjadi jelas juga tidak ada perbuatan melawan hukum atau menyalahgunankan wewenang yang dilakukan kedua terdakwa itu dalam penunjukan PT TPPI tersebut,,” tandasnya.

Nah, berdasarkan fakta-fakta persidangan tersebut, Tumpal berharap agara Majelis Hakim yang memeriksa serta mengadili perkara Kondesat ini dapat berlaku adil, sesuai aturan hukum yang berlaku, pungkasnya sambil tersenyum. (her)