IPNews. Jakarta. Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta bersama Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (Diskominfotik) DKI Jakarta menggelar seminar keterbukaan informasi publik bertema “Keterbukaan Informasi dan Akuntabilitas Pemerintahan: Analisis Hukum dan Praktik” di kampus Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta Timur, Selasa (20/5/2025).
Seminar ini menjadi wadah strategis bagi akademisi, praktisi, dan pemangku kebijakan untuk mendiskusikan urgensi penguatan regulasi keterbukaan informasi publik, termasuk dorongan revisi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) serta pentingnya pembentukan Peraturan Daerah (Perda) KIP di Provinsi DKI Jakarta.
Ketua Komisi Informasi DKI Jakarta Harry Ara Hutabarat, dalam sambutannya berharap Pascasarjana Universitas Jayabaya dapat turut serta dalam mendukung keterbukaan informasi publik di Jakarta.
Menurut Harry, kampus ini memiliki sumber daya manusia yang potensial untuk terlibat terutama dalam penguatan regulasi hingga penyusunan naskah akademik Perda KIP.
“Kita harap Jayabaya sebagai salah satu yang memiliki SDM yang baik, kelak menjadi ahli penyusun naskah akademik Perda KIP. Jadi ini kesempatan bagi Jayabaya untuk mendorong dan menunjukkan kompetensinya dalam mendiskusikan keterbukaan informasi publik,” kata Harry.
Menanggapi hal tersebut, Rektor Universitas Jayabaya, Fauzie Yusuf Hasibuan, menyambut baik kegiatan kolaborasi Pascasarjana Universitas Jayabaya dengan Komisi Informasi DKI Jakarta dan Pemprov DKI Jakarta.
Dia berharap, kegiatan seminar ini dapat memperkaya keilmuan mahasiswa pascasarjana Universitas Jayabaya sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam mendorong keterbukaan informasi, khususnya di Jakarta.
“Terima kasih atas prakarsa program pascasarjana yang bersinergi dengan Komisi Informasi dan Pemda DKI Jakarta. Kita bersama memajukan kehidupan bangsa, khususnya di DKI Jakarta,” ujar Fauzie.
Dalam sesi diskusi, Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya Iran Sahril Siregar yang menjadi narasumber seminar ini, menekankan bahwa hak atas informasi bukan sekadar hak administratif, melainkan bentuk kedaulatan warga negara.
“Hak memperoleh informasi adalah wujud dari kedaulatan warga negara informasi. Informasi publik bukan milik negara, tapi milik rakyat. Maka, keterbukaan adalah keharusan,” tegas Iran.
Ia menyoroti bahwa hingga saat ini DKI Jakarta belum memiliki Perda KIP. Padahal, menurutnya, keberadaan regulasi tingkat daerah sangat penting untuk memastikan implementasi keterbukaan informasi berjalan efektif di lapangan.
“Selain revisi UU KIP, kita juga harus dorong pembentukan Perda KIP. Di Jakarta belum ada Perda-nya, padahal ini sangat penting untuk implementasi teknis dan penegakan hak-hak publik secara lebih konkret,” tambahnya.
Iran juga mengaitkan pentingnya keterbukaan informasi dengan visi besar Indonesia Emas 2045. Ia menilai bahwa transparansi merupakan salah satu indikator utama menuju pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
“Kalau KIP dijalankan minimal 70 persen sesuai regulasi, itu sudah jadi tanda kita menuju Indonesia Emas. Tapi kalau masih di bawah itu, maka belum layak disebut demikian,” ungkapnya.
Bahkan, ia menyebut bahwa dengan keterbukaan informasi yang maksimal, fungsi lembaga pengawasan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dapat berkurang.
“Jika KIP dilaksanakan 100 persen, peran KPK bisa berkurang karena semuanya sudah badan publiknya sudah transparan. Itu idealnya. Tapi saat ini, di lapanhan yang terjadi tidak seperti yang kita harapakan,” tutup Iran.
Narasumber lainnya, Komisioner KPU DKI Jakarta Nelvia Gustina pun mengakui bahwa keberadaan UU KIP justru telah membantu badan publik dalam menjalankan prinsip transparansi.
Aturan ini, kata Nelvia memberikan kejelasan mengenai batasan informasi yang wajib dibuka dan yang dikecualikan, sehingga mendorong akuntabilitas sekaligus melindungi lembaga dari risiko penyalahgunaan informasi.
Ia menuturkan pengalamannya saat bertugas di KPU DKI Jakarta, di mana regulasi tersebut menjadi acuan penting dalam pelaksanaan tugas.
“Ketika saya di KPU, saya menyadari betapa pentingnya UU KIP. Meski belum direvisi, kami merasa terlindungi karena jelas rambu-rambunya. Kami tahu informasi apa yang harus diberikan dan mana yang tidak boleh dibuka ke publik,” ujar Nelvia.
Nelvia mendukung upaya revisi UU KIP agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Menurutnya, pola dan cara masyarakat dalam mengakses dan memohon informasi publik telah berubah signifikan.
“Dunia sudah berubah. Sepuluh atau dua puluh tahun lalu beda dengan hari ini. Sekarang orang menginginkan informasi lebih cepat, aksesnya pun lebih beragam. Karena itu UU-nya perlu disesuaikan,” katanya.
Selain itu, Wakil Ketua KI DKI Jakarta Luqman Hakim Arifin mengungkapkan upaya KI DKI Jakarta dalam mendorong kepatuhan badan publik terhadap UU KIP, satunya melalui E-Monev.
Kata Luqman, setiap tahunnya, KI DKI Jakarta terus meningkatkan jumlah
kepesertaan E-Monev badan publik. Tujuannya agar semakin banyak badan publik yang sadar tentang pentingnya keterbukaan informasi sekaligus meningkatkan kualitas layanan informasi publik mereka.
“Dari tahun ke tahun angkat peserta E-Monev itu meningkat, tahun 2024 saja ada 519 badan publik yang kita Monev. Namun jumlah yang Informatif itu baru 20 persen, selebihnya 57 persen itu kurang dan tidak Informatif,” ungkap Luqman.
Karena itu, Luqman mendorong agar para akademisi dapat memanfaatkan UU KIP untuk melakukan uji akses terhadap badan publik di Jakarta.
“Jadi kami mendorong agar para mahasiswa disini memanfaatkan UU KIP untuk memperoleh informasi di badan publik, untuk berbagai kebutuhan seperti pengawasan, transparans dan yang lainnya,” ujar Luqman. (JP)