IPNews. Jakarta. Kuasa Hukum Wahyu Gunawan, Tri Persada Kaban, menyebut jika keterangan saksi Ariyanto Bakri tidak konsisten dan tidak jujur soal besaran uang suap dalam upaya memuluskan vonis onslagh kepada korporasi crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng (migor)

“Kita berpaku kepada BAP, pertama, kedua, juga sudah dilakukan konstruksi yang mana dihadiri oleh Pak Man sendiri dan dihadiri oleh majelis yang lain, bahwa apa yang disampaikan oleh Ariyanto Bakri adalah bohong,” kata Tri Persada Kaban saat isoma sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Kamis (28/8/2025).

Disampaikan demikian karena apa yang sudah diterima oleh penerima uang, baik Muhammad Arif Nuryanta hingga Djuyamto, angkanya tidak seperti yang disampaikan Ariyanto Bakrie yakni sebesar Rp60 miliar.

“Apa yang disampaikan Ari itu sah-sah saja, cuma secara kami sebagai penasihat hukum Wahyu adalah itu semua bohong. Dan dalam hal ini juga majelis yang memimpin jalannya persidangan, beberapa kali menyampaikan supaya keterangan Ari Bakri tidak berubah-ubah,” jelas Persada Kaban.

Ia menyebut saksi Ariyanto belum menyampaikan secara jujur dan terang. Apa yang dia terima, apa yang dirasakan dan apa yang dilihatnya selama proses memuluskan langkah vonis onslagh kepada korporasi crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng (migor).

“Yang menjadi inisiator adalah Arie Bakrie. Cerita awalnya, Arie Bakrie melihat postingan Wahyu dengan Pak Man sebagai Waka PN Jakarta Pusat. Di situlah Arie Bakrie meminta tolong kepada Wahyu mengenai kasus minyak goreng. Soal tuduhan keluarganya dihidupi oleh Ari Bakrie, ini lari dari topik kasus,” ujar Persada.

Dalam persidangan penanganan perkara kasus korupsi suap hakim itu, saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum adalah pengacara Ariyanto Bakri (Ary Bakri). Ia adalah suami pengacara Marcella Santoso. Keduanya tersangka kasus suap vonis lepas yang diberikan hakim Djuyamto dkk terhadap terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

Beberapa tempat pertemuan untuk memuluskan vonis onslagh juga turut disebut. Dari Cafe Holiday Inn Kemayoran, Layar Seafood hingga tempat golf. Hal itu terungkap setelah mantan panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menanyakan saksi Ariyanto Bakri yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum.

“Berapa kali kita bertemu bertiga? Antara saya, saudara saksi (Ariyanto), dan Pak Man,” tanya Wahyu Gunawan.

Pak Man dalam hal ini merujuk pada mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta. Ia merupakan terdakwa dalam kasus ini bersama Wahyu Gunawan, hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom.

“Seingat saya tiga kali, satu kali miss,” jawab Ariyanto.

“Lokasinya dimana saja?,” kata Wahyu Gunawan.

“Layar (Cafe) dua kali sama golf,” jawab Ariyanto

Mendapati jawaban itu, Wahyu kemudian meminta kejujuran saksi Ariyanto diluar yang telah disampaikan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dan, apa yang ditanyakan Wahyu diluar BAP itu dibenarkan saksi Ariyanto.

“Saya minta kejujuran saudara saksi, ini tidak ada di BAP, pernah tidak kita bertemu di Cafe Holiday Inn Kemayoran bertiga?,” tanya Wahyu.

“Pernah,” jawan Ariyanto.

“Apa yang saudara saksi ingat dalam pertemuan itu. Apa obrolan atau percakapan antara saksi dengan Sdr Man,” tanya Wahyu.

“Saya tidak banyak berbicara ke Saudara Man, yang saya perhatikan dan saya dengar. Saya hanya mendengar disana kesimpulan bahwa anda berdua memberikan onslagh,” jawabnya.

Selain upaya memuluskan vonis onslagh, beberapa terdakwa dalam kasus ini juga membuat permufakatan agar dalam persidangan keterangannya satu sama lain satu suara. Permufakatan itu dilakukan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung (Rutan Kejagung).

“Ada peristiwa hukum yang saya alami, ketika 2,5 bulan saya ditahan di Rutan Kejagung. Pertanyaannya apa maksud dan tujuan serta motif saksi (Ariyanto) memanggil saya di Rutan Kejagung,” tanya Wahyu.

“Adakah Saudara menmanggil saya didapur?,” lanjutnya.

“Mungkin dalam 2,5 bulan seringkali pak, tapi saya tidak ingat,” jawa Ariyanto.

“Apa motif saksi memanggil saya dan kemudian menyampaikan ke saya, nanti keterangan ‘lu harus sama di persidangan, harus sama dengan gue’, Ada ga?,” tanya Wahyu.

“Mungkin pernah pak. Ada,” jawabnya.

Soal pemanggilan di dalam ruang tahanan oleh saksi ini diungkapkan Wahyu untuk mendalami berapa besaran uang suap untuk memuluskan vonis onslagh. Sebab kata Wahyu, besaran uang suap harus sama di persidangan, yakni sebesar Rp60 miliar.

“Saya ingin menjelaskan, sudah ada bisikan dari hakim-hakim yang tinggal (di Rutan Kejagung) dengan saya,” kata Ariyanto.

“Saya dapat masukan dari hakim-hakim yang tinggal bareng kami, Pak Djuyamto, Pak Ali, Pak Agam, kita tinggal dalam satu mes bareng,” lanjutnya.

Dalam obrolan di rutan itu, terungkap jika saksi Ariyanto dalam jalannya persidangan kemungkinan akan ‘fight’ dengan Wahyu Gunawan. Padahal, saksi Ariyanto menyatakan jika selama ini dirinya sudah berlaku baik ke Wahyu.

“Saya baik sama dia, dia banyak dapat uang dari saya. Saya ngidupin dia dengan keluarganya. Saya bilang seperti itu. Dia tidak mengakui kalau dia menerima Rp 60 M, dia terima hanya Rp 40 M. Saya kaget,” ucap saksi.

“Kalau dia bisa mengatakan itu uang hanya Rp 40 M. Saya punya seribu bukti untuk dia, kalau dia terima uang Rp 60 M. Dan saya kembali ke pertanyaan beliau, ‘lu jangan saling menyudutkan deh, gue banyak ngidupin keluarga lu,” beber saksi Ariyanto.

Selanjutnya, Wahyu bertanya kepada saksi Ariyanto, kenapa sudah dikenalkan dengan Muhammad Arif Nuryanta namun dalam proses memuluskan vonis onslagh tetap melalui dirinya. Saksi Ariyanto menegaskan bahwa dirinya mengambil profesional, jika sudah komitmen maka akan memegang yang dikomitmenkan.

Sekedar diketahui, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi minyak goreng diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

Adapun total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.

Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.

Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar. (Her)