IPNews. Bekasi. Keluarga almarhumah Dorothea Sri Upiyah, warga Kecamatan Bekasi Utara, Jawa Barat, mengeluhkan lambannya penerbitan akta kematian yang sudah diajukan sejak dua bulan lalu. Padahal, seluruh persyaratan administrasi telah dilengkapi dan diserahkan sesuai ketentuan.

Theodorus, pihak keluarga yang mengurus dokumen, menjelaskan bahwa hambatan bukan terletak pada kelengkapan berkas, melainkan pada sistem kependudukan yang masih mencatat adik kandungnya sebagai anggota Kartu Keluarga (KK) almarhumah, meskipun adiknya telah lama pindah domisili ke Lampung dan memiliki KTP serta KK mandiri di sana.

“Semua syarat saya serahkan lengkap. Tapi saya justru disuruh menunggu karena sistem masih mencatat adik saya dalam KK ibu saya, padahal dia sudah resmi berdomisili di Lampung dengan dokumen yang sah,” ujar Theodorus, Kamis (29/5/2025).

Permasalahan semakin rumit karena pihak kecamatan menyarankan agar keluarga melakukan validasi data secara manual ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) di Lampung. Hal ini dianggap membebani keluarga, mengingat jarak dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan persoalan administratif yang semestinya dapat ditangani secara terintegrasi.

“Saya pikir ini bukan sekadar masalah teknis, ini menyangkut efektivitas sistem dan pelayanan publik. Seharusnya sistem kependudukan nasional sudah mampu mengakomodasi data yang tersebar lintas wilayah,” tambahnya.

Kasus ini menjadi salah satu cerminan masalah yang masih terjadi dalam pelayanan administrasi kependudukan, khususnya terkait interoperabilitas sistem antarwilayah. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan sistem digital kependudukan yang selama ini diklaim sudah terintegrasi secara nasional.

Di sisi lain, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia, tingkat kepuasan warga terhadap Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tercatat sangat tinggi, mencapai 94,8 persen. Namun, ketika diminta menilai kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam berbagai sektor pelayanan, termasuk administrasi publik, hasilnya tidak sejalan, di mana tingkat kepuasan publik berada di bawah 50 persen.

Direktur Riset Indikator Politik Indonesia, Adam Kamil, menyatakan bahwa kesenjangan antara persepsi terhadap figur pemimpin dan institusi yang dipimpinnya merupakan temuan yang cukup menonjol dalam survei kali ini.

“Secara umum publik memberikan apresiasi terhadap gaya kepemimpinan. Namun ketika menyentuh isu-isu teknis seperti pelayanan administrasi, ternyata masih banyak yang merasa tidak puas,” ujarnya.

Kasus keterlambatan penerbitan akta kematian di Bekasi Utara menjadi salah satu potret nyata bagaimana sistem administrasi publik masih perlu perbaikan, terutama dalam memastikan bahwa sistem digital benar-benar berfungsi untuk memudahkan warga, bukan sebaliknya. (JP)