IPNews. Jakarta. Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (Komjak RI) mendukung langkah DPR RI melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Ketua Komjak RI, Dr Barita LH Simanjuntak SH MH CfrA, mengatakan, sudah sangat wajar ada penyempurnaan, perbaikan dan penyesuaian mengingat dinamika perkembangan masyarakat, perkembangan jenis-jenis kejahatan lalu aktualisasinya dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan.

“Sangat wajar dan kita mendukung ada perubahan UU Kejaksaan itu. RUU Kejaksaan ini ada untuk menyempurnakan UU Kejaksaan yang sudah berjalan selama 14 tahun tersebut agar lebih kuat dan rapi,” ujar Barita Simanjuntak belum lama ini.

Dia lalu menyebut perubahan isi pasal 1 ayat 1 yang berbunyi jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan pengacara negara, serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Menurutnya, materi-materi perubahan itu tidak bersifat menambah kewenangan. Materi-materi itu sebenarnya selama ini sudah ada, tetapi berada di peraturan yang terpisah.

“Jadi itu bukan perluasan kewenangan, tapi melakukan kompilasi agar seluruh tugas kewenangan Kejaksaan yang ada di berbagai peraturan yang tersebar, ketentuan-ketentuan itu dapat menyatu. Sehingga, lebih sistematis dan rapi di UU Kejaksaan yang menyatu,” jelasnya.

Barita juga menegaskan bahwa dalam revisi RUU Kejaksaan tidak ada kewenangan Kejaksaan mengambil alih tugas penegak hukum lainnya.

“Seperti misalnya di bidang pidum (pidana umum), tetap penyidik adalah kepolisian. Tidak ada mengambil alih kewenangan penegak hukum lain,” ucapnya.

Dia melanjutkan, jika seandainya RUU tersebut disahkan, ada penyesuaian yang harus diubah berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Misalnya ada batasan yang tegas menyangkut SPDP. Kan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan harus ada batas limit waktunya, itu kan putusan Mahkamah Konstitusi yang juga harus disesuaikan,” ucapnya.

Menurut Barita, penyesuaian itu penting untuk kepastian hukum. Hal ini agar tidak ada lagi kasus-kasus yang terkatung atau mengambang.

“Jadi bukan mengambil alih kewenangan, tapi mengatur agar segala bentuk pelaksanaan kewenangan itu lebih pasti dan lebih menghargai hak-hak asasi manusia, khususnya yang selama ini banyak dikeluhkan atau dilaporkan masyarakat,” kata Barita.

Bahkan, tambah Barita, revisi RUU Kejaksaan ini juga bertujuan memenuhi standar internasional profesi Jaksa, sesuai dengan Konvesi Jaksa Internasional.

“Karena itu penting untuk menjadi bagian yang masuk ke dalam RUU, yang sementara akan berjalan perubahan dan penyempurnaannya,” ujar dia.

Sementara itu Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan, revisi RUU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 yang saat ini tengah bergulir pembahasannya di DPR RI masih menimbulkan persepsi keliru di sejumlah kalangan yang menganggap bakal ada penambahan kewenangan jaksa.

Padahal, sebenarnya tidak ada penambahan kewenangan jaksa dalam RUU Kejaksaan, melainkan hanya memasukan kewenangan jaksa yang telah diatur sebelumnya diberbagai peraturan perundang-undangan.

“Selain juga tidak ada satupun kewenangan instansi lain yang diambil Kejaksaan,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin saat membuka rapat kerja teknis (Rakernis) Bidang Pembinaan dari ruang kerja sementara di Badan Diklat (Badiklat) Kejaksaan RI di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pekan lalu.

Oleh karena itu, Jaksa Agung Burhanuddin meminta Kepala Biro Hukum Kejaksaan RI, Asep N Mulyana, sebagai leading sector untuk melakukan langkah-langkah strategis dan taktis guna menepis persepsi keliru tersebut.

“Terutama mendorong Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) di pusat dan daerah mensosialisasikan RUU Kejaksaan. Antara lain melalui seminar, FGD (Focus Group Discussion) atau kajian ilmiah, maupun publikasi tulisan-tulisan di berbagai media,” kata Jaksa Agung. (wan).