IPNews. Jakarta. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dinilai telah mengabaikan bukti dan fakta hukum dalam memutus perkara gugatan perdata yang dilayangkan penggugat Tri Rahadian Sapta Pamarta terhadap Harijanto Latifah. Putusan tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan hukum perdata dan hukum acara perdata serta rasa keadilan.
Hal ini diungkapkan Robin R. Siagian, selaku kuasa hukum tergugat Harijanto Latifah yang resmi telah mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Selatan Nomor: 688/Pdt.Bth/2022/ PN.Jkt.Sel ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
“Kami tidak habis pikir dengan putusan Majelis Hakim yang menangani perkara gugatan perdata Nomor: 688/Pdt.Bth/2022/ PN.Jkt.Sel. Kok bisa dikabulkan padahal semua fakta hukum telah kami ungkap dalam persidangan?.
Di antaranya adanya akta PPJB cacat hukum dan kwitansi palsu pembayaran ruko ke klien kami, anehnya lagi tidak membayar dan tidak ada pembayaran kok bisa disebut pembeli beritikad baik dan gugatan penggugat dikabulkan oleh Majelis Hakim?. Untuk itu kami menyatakan banding atas putusan tersebut,” ujar Robin R. Siagian, dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (24/5/2023).
Robin mengungkapkan fakta dan bukti yang sama sekali diabaikan oleh Majelis Hakim, yaitu Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor: 2 tanggal 9 Februari 2007 yang sudah terbukti cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum. Akta PPJB yang dibuat di Notaris Makbul Suhada tersebut, ada dua versi dengan nomor yang sama, namun isinya berbeda.
“Akta PPJB No.2 tanggal 9 Februari 2007 yang asli dalam Pasal 3 menyebutkan pihak pertama dengan ini berjanji dan menyatakan bahwa selama Akta Jual Beli belum dilaksanakan, maka pihak pertama tidak akan menjaminkan, mengalihkan dan atau melepaskan tanah tersebut kepada pihak lain maupun kepada pihak kedua.
Sementara dalam Akta PPJB versi kedua yang sudah dibatalkan dan terbukti palsu kata pihak kedua dirubah menjadi pihak ketiga tanpa dirubah menjadi pihak ketiga. Akta PPJB versi kedua terbukti dipalsukan dengan merobah isi pasal 3 seperti yang kami sebutkan tanpa sepengetahuan klien kami selaku pemilih sah atas bangunan di Kalibata berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No.544,” bebernya.
“Berdasarkan Akta PPJB No.2 tanggal 9 Februari 2003 yang asli dalam pasal 3 menyatakan bahwa selama belum ada AJB tidak boleh menyerahkan kepada pihak lain maupun kepada pihak kedua. Dan dalam akta PPJB yang palsu dirubah menjadi pihak ketiga tanpa sepengetahuan pihak pertama artinya terjadi pemalsuan,” sambung Robin.
Menurut Robin, bukti berupa surat dari Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPPN) atas permintaan Polda Jabar terkait dengan PPJB menyatakan bahwa Akta PPJB Nomor 2 tanggal 9 Februari 2007 sudah cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum dalam putusan perdata Nomor: 484/Pdt/G/ 2020/PN Jaksel tanggal 20 Juni 2011.
Surat MPPN-RI Nomor: UM. MPPN.17.18-60, tanggal 20 Januari 2020 yang ditujukan kepada Heru Susanto, ayah dari penggugat. Surat itu perihal penjelasan Nomor Perkara No.484/PDT.G/2010/PN Jaksel, tanggal 20 Juni 2011 di PN Jakarta Selatan. Dalam putusannya Nomor: 02/B/M/J.PPN/VI/2012, tanggal 8 Juni 2012, MPPN menyatakan akta perjanjian surat kuasa dan akta pembatalan telah terjadi pemalsuan oleh Notaris Makbul Suhanda, SH. Sehingga cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
“Notaris Makbul Suhada juga telah terbukti bersalah memalsukan surat otentik dan dihukum penjara 8 bulan berdasarkan putusan PN Cibinong Nomor: 749/Pid.B/2016/PN.Cbi. Apakah majelis hakim tidak melihat fakta hukum tersebut?,” ujarnya mempertanyakan.
Kwitansi
Selain akta PPJB cacat hukum, lanjutnya, kemudian muncul kwitansi pembayaran yang diklaim oleh penggugat sebagai bukti pembayaran ruko milik kliennya Harijanto. Padahal faktanya, kliennya sama sekali tidak pernah menandatangani kwitansi tersebut, apalagi menerima pembayaran.
“Sudah akta PPJB cacat hukum malah ditambah adanya kwitansi abal-abal, kami pun telah melaporkan dugaan pidana adanya dugaan kwitansi palsu. Masa masih ngotot sudah bayar dan mengklaim ruko milik klien kami itu milik penggugat?” katanya Robin sembari memperlihatkan foto copi kwitansi.
“Klien kami Harijanto Latifah telah melaporkan dugaan pemalsuan tersebut dalam Laporan Polisi Nomor: Nomor: TBL/4803/X/2017/PMJ/Dit. Reskrimum tanggal 5 Oktober 2017 dan selanjutnya telah menyampaikan pengaduan kepada Biro Wassidik Mabes Polri, karena tidak jalannya proses penyidikan atas laporan polisi tersebut. Kami menduga tidak jalannya proses penyidikan laporan polisi tersebut karena pihak Tri Rahadian adalah anak dari Purnawirawan Perwira Tinggi Polri,” papar Robin.
Ia menegaskan soal jual beli ruko baru sebatas PPJB belum Akta Jual Beli (AJB) dan semuanya telah cacat hukum. Sementara dasar pihak penggugat mengajukan gugatan adalah adanya akta PPJB Nomor: 2 Tanggal 9 Februari 2007 yang dibuat oleh Notaris Makbul Suhada, S.H antara Harjanto Latifah dengan Tri Rahadian Sapta Pamarta.
“Majelis Hakim tidak bisa mendasarkan putusannya yang mengabulkan gugatan dengan menggunakan PPJB Nomor: 2 Tanggal 9 Februari 2007. Menurut hukum pihak Tri Rahadian belum bisa dikatakan sebagai pemilik karena dasarnya baru berupa PPJB bukan AJB,” tegasnya.
Padahal, kata Robin, pihak PN Jakarta Selatan sudah menyatakan Tri Rahadian Sapta Pamarta belum menjadi pemilik atas ruko tersebut. Hal ini dikuatkan dengan keputusan PK Mahkamah Agung No.714/PK/Pdt/2012 karena baru berupa PPJB. Sehingga tidak boleh mengajukan gugatan perlawanan.
“Sehingga kami melihat ada dualisme hukum dalam menyikapinya, apakah seseorang yang baru berupa PPJB dapat dianggap sebagai pemilik untuk mengajukan gugatan perlawan pihak ketiga? Apalagi menggunakan pengikatan yang telah terbukti dipalsukan dan kwitansi orang, kami menduga sudah termasuk mafia tanah,” katanya.
Robin menerangkan, Yurisprudensi-yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) menyebutkan bahwa PPJB belum bisa menjadi dasar sebagai pemilik, apalagi untuk perkara perlawanan yang sama atas ruko milik Harijanto Latifah.
“Pihak Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah menyatakan bahwa Tri Rahardian belum menjadi pemilik, karena baru berupa PPJB sehingga tidak boleh mengajukan gugatan perlawanan, sehingga kami melihat adanya dualisme hukum dalam menyikapinya, apakah seseorang yang baru berupa PPJB dalam dianggap sebagai pemilik untuk mengajukan gugatan perlawanan pihak ketiga?.” katanya.
Tidak Pernah Menerima Pembayaran
Majelis Hakim, lanjutnya, juga tidak tepat pertimbangannya karena senyatanya setelah tanda tangan Akta PPJB tersebut, Harijanto Latifah selaku penjual sama sekali tidak pernah menerima pembayaran atas penjualan Ruko Kalibata tersebut baik itu dari Tri Rahadian Sapta Pamarta maupun dari Irjen Pol (Purn) Drs. Heru Susanto, ayah dari Tri Rahadian.
“Bukti pembayaran berupa kwitansi-kwitansi juga bukan dibuat dan ditandatangani oleh Harijanto Latifah melainkan oleh orang lain. Seharusnya menurut hukum pembayaran dilakukan kepada pihak penjual bukan kepada orang lain,” tandas Robin.
Robin kembali menjelaskan, menurut Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Sehingga seharusnya menurut hukum, pihak Tri Rahadian harus melakukan pembayaran kepada kliennya Harijanto Latifah dan bukan kepada orang lain.
Dalam persidangan, pihaknya selaku tergugat juga telah menghadirkan Suharnoko, ahli hukum perdata dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), yang juga tegas menyatakan bahwa pembayaran harus dilakukan kepada pihak penjual sebagai pemilik barang dan bukan kepada pihak lain. Namun, tetap masih diabaikan oleh Majelis Hakim.
“Pihak MPPN telah memberitahukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengenai kecacatan Akta Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor: 2 tanggal 9 Februari 2007 tersebut, melalui suratnya tanggal 17 Februari 2020 kepada Ketua PN Jakarta Selatan juga telah menyatakan bahwa dau salinan Akta Pengikatan Jual Beli yang berbeda isi, melanggar Pasal 1 butir 9 UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sehingga cacat menurut hukum. Akan tetapi Majelis Hakim PN Jakarta Selatan tetap mengabaikan fakta hukum tersebut. Padahal semua bukti tersebut telah disampaikan kepada Majelis Hakim PN Jakarta Selatan,” bebernya.
Pihaknya berharap Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dapat mempertimbangkan bukti dan fakta hukum ini yang sebelumnya diabaikan oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Juga berharap kepada pihak Mahkamah Agung (MA) untuk memperhatikan dan meneliti perkara yang sangat merugikan kliennya.
“Sehingga selanjutnya akan membatalkan putusan PN Jakarta Selatan Nomor: 688/Pdt.Bth/2022/PN.Jkt.Sel tersebut demi azas kepastian hukum dan azas keadilan hukum. Kami akan terus berjuang, karena semua bukti yang kami miliki benar adanya sesuai fakta hukum,” pungkas Robin. (Her)