IPNews. Jakarta. Mahkamah Agung (MA) menghormati proses hukum yang tengah dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Agung Selasa (14/1/2025) terkait penangkapan mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya berinisial R atas dugaan
melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara.

MA mendukung agar penyidikan ini dilaksanakan secara transparan, fair, dan akuntabel, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. “Agar proses ini dilaksanakan dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas,” ujar Juru Bicara MA, Dr. Yanto SH, MH, yang didampingi Kepala Biro Hukum dan Humas (Karo Humas) MA, Dr. H. Sobandi SH, MH, saat memberikan keterangan resmi dalam konferensi pers di gedung Media Center MA, Jakarta. Rabu (15/1/2025).

MA juga menunggu surat resmi terkait penahanan R yang dilakukan oleh Kejagung. Setelah menerima surat tersebut, MA akan mengusulkan pemberhentian sementara R sebagai hakim kepada Presiden Rl.

Selain itu, Pimpinan MA mengingatkan seluruh aparatur pengadilan di Indonesia untuk tetap tenang, bekerja secara profesional, dan menjaga integritas. MA juga menegaskan pentingnya menjaga kesederhanaan dan menghindari perbuatan tercela, sesuai dengan kebijakan Ketua MA dalam memimpin pengadilan.

Klasifikasi Terkait Kerugian Negara

Dalam kesempatan ini, Dr. Yanto juga meluruskan pemberitaan yang salah terkait kebijakan MA mengenai “kerugian negara.” Ia menegaskan bahwa MA tidak mengeluarkan kebijakan mengenai hal tersebut.

Sebagai gantinya, MA hanya merujuk pada ketentuan yang berlaku, yaitu bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Ketentuan ini tercantum dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2024, yang menegaskan bahwa BPK berwenang dalam menentukan ada tidaknya kerugian negara. Sementara instansi lain, seperti BPKP atau Akuntan Publik, tetap berwenang untuk melakukan audit,” jelas Dr. Yanto.

Pernyataan Terkait Putusan Pengadilan

Terkait pemberitaan mengenai perkara Harvey Mois, Dr. Yanto juga mengklarifikasi bahwa pernyataan yang mengaitkan dirinya dengan penilaian tentang keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa dalam putusan adalah tidak tepat. “Saya luruskan, itu bukan pendapat saya,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa hal itu merujuk pada ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf f KUHAP dan Pasal 8 Ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan dalam putusan.

Pernyataan ini disampaikan untuk memberikan klarifikasi dan meluruskan informasi yang beredar, sekaligus menegaskan komitmen MA dalam mendukung transparansi dan integritas dalam proses hukum di Indonesia. (JP)