Penulis: Henri Edward  T

IPNews. Jakarta. Wajah peradilan di Indonesia saat ini kian jadi cibiran ,cemohan dan juga pembicaraan hangat dikarenakan ulah serakah para hakim yang digelari sebagai wakil tuhan dalam menegakkan hukum,kebenaran dan keadilan bagi mereka pencari keadilan. Cibiran dan cemohan itu dialamatkan kepada sejumlah oknum hakim yang ‘mempermainkan dan memperdagangkan keadilan’ melalui putusan yang mereka buat yang tidak mengandung kebenaran, fakta persidangan,dan juga fakta-fakta materil.

“Mempermainkan dan memperdagangkan keadilan’ melalui mempermainkan jabatan dan fungsi hakim sebagai juru adil atau pemutus perkara yang diperiksa dan diproses dalam persidangan memang sudah sering terjadi sehingga menjadi perbincangan mengingat keluarnya putusan yang tidak adil dikarekan hasil ‘jual beli’ atau sesuai dengan pesanan/permintaan dari sipemberi uang.

Padahal parahakim sebelum membacakan amar putusan selalu didahului dengan kalimat: Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun karena faktor x maupun faktor uang, justru keluar putusan yang sudah ditransaksikan para oknum hakim yang memperdagangkan keadilan juga mempermainkan jabatannya , meskipun dalam putusan tetap mengatakan “ Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Adanya ‘mafia peradilan’ dan juga sejumlah oknum-oknum hakim yang ‘memperdagangkan’ hukum, kebenaran dan keadilan menjadikan keadilan itu justru ketidakadilan dan kesengsaraan bagi pencari keadilan yang dengan sungguh-sungguh mencari keadilan.

Memang ada fameo lama maupun anekdot yang sering dilontarkan kepada HAKIM dengan (Hampiri Aku Kalau Ingin Menang) atau dengan sindiran lain, jika kita memperjuangkan hak kita soal kehilangan kambing, maka akan kehilangan kerbau juga sebagai biaya siluman untuk bisa mendapatkan keadilan.

Saat ini sejumlah juru adil atau-pun yang disebut Wakil Tuhan dalam menentukan keadilan, sedang diproses hukum karena melakukan korupsi (gratifikasi) karena ‘memperdagangkan keadilan’ untuk membuat putusan yang justru tidak mengandung keadilan, tidak sesuai dengan fakta dan kebenaran.

Tiga orang oknum hakim yang bertugas di Pengadilan Nergeri Surabaya,Jawa Timur (Jatim) yang merupakan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili terdakwa Gregorius Ranald Tanur,yaitu hakim Erintuah Damanik, Mangapul, Heru Hanindyo menghukum bebas terdakwa Ronald Tanur yang didakwa menganiaya korban Dini Sera Afrianti hingga meninggal dunia. Padahal terdakwa dituntut 12 tahun penjara.

Usut punya usut, ternyata setelah disilidiki bahwa putusan bebas tersebut diduga kuat akibat adanya main uang (korupsi/gratifikasi).

Hal tersebut terungkap berdasarkan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Pidsus Kejagung kepada ketiga hakim tersebut.

Ketiga hakim ini juga ditangkap dan sudah ditetapkan sebagai tersangka, disamping Lisa Rachmat yang merupakan pengacara Ronald Tanur. Bahkan dalam penggeledahan yang dilakukan di sejumlah tempat,dari keempat tersangka didapati barang bukti uang rupiah dan mata uang asing sekitar kurang lebih Rp 20 miliar.

Dari pemeriksaan yang dilakukan, ternyata soal urus mengurus perkara atau ‘memperdagangkan keadilan’itu ada terkait dengan Zarot Ricard mantan pejabat di Mahkamah Agung (MA) yaitu Ka Badan Litbang Kumdil MA. Zarof Ricar sudah ditangkap,dan dari hasil penyitaan di tempat-tempat tinggalnya itu berhasil disita uang rupiah dan mata asing yang hampir Rp 1 trilun,dan emas murni 51 Kg.

Bahkan soal Zarot Ricar ditenggarai sejak tahun 2012-2022 sudah terlibat dalam hal memenangkan perkara yang dimamfaatkan mafia peradilan dalam perkara tingkat kasasi. Hal ini juga sebagai bukti adanya sejumlah perkara di tingkat kasasi yang putusannya tidak seusuai kebenaran dan keadilan, meskipun dalam putusan menyebut-nyebut nama Tuhan Yang Maha Esa.

Bahkan di luar mereka, kasus suap yang menjerat hakim seperti hakim agung Sudradjat Dimiati, hakim Agung Gazalba Saleh dan sejumlah pegawai Mahkamah Agung juga sudah terlebih dahulu ditangkap dan diproses hukum.

Yang jelas dalam menentukan keadilan melalui putusan para hakim masih rentan dengan kasus suap atau gratifikasi yang dilakukan oknum hakim dalam mengatur putusan. Hal inilah yang membuat wajah peradilan kita rusak dan jadi cemohan karena keadilan bisa dibeli.

Untuk itu harus ada pembenahan yang serius di tubuh peradilan, dan juga menindak setiap juru adil maupun pegawai yang masih main-main dengan menjual keadilan. Juga meningkatkan integirtas dan kejuran hakim jangan hanya dijadikan slogan belaka yang hanya ‘pemanis’ didengar publik,tetapi dalam tataran praktik omong doang.

Untuk itu bagi siapun mereka yang terlibat memperdaganghkan keadilan harus diproses secara hukum, baik itu penghubung, oknum hakim, pegawai maupun pengacara yang terlibat sebagai bahwa kita menolak segala bentuk korupsi. Selain itu demi terciptanya Keadilan Berdasarkan Tetuhanan Yang Maha Esa.

Penulis: Henri Edward T
(Redaktur Senior SK Dialog)